Kamis, 20 Februari 2020

Alergi atau Tuberkulosis?

Lagi... Aku terbangun di tengah malam karena merasakan nyeri yang sangat di tenggorokanku. Bergegas berpindah kamar, karena sudah yakin kalau yang terjadi setelahnya pasti akan mengganggu orang-orang yang tidur bersamaku. Mengambil beberapa peralatan yang biasa kugunakan kala gejala ini mulai muncul, mulai dari penghangat badan, pelancar nafas, sekotak tisu, juga tak lupa selimut tebal. Dan akupun mulai duduk bersandar di kasur, karena jika sudah muncul gejala ini, aku tak bisa lagi merebahkan badan.

Tak lama kemudian, lendir mulai mengucur deras dari hidungku, bersamaan dengan nyeri di leher yang semakin terasa mencekik. Selang waktu berlalu, berganti dengan kedua hidung yang tak mampu menghirup udara sama sekali, dan terkadang nafas pun menjadi terasa sangat berat, sesak. Bahkan, sering aku harus bernafas menggunakan mulut, karena hidung yang sudah tak mampu menarik udara. Tak jarang pula lendir bercampur darah keluar dari hidung atau tenggorokanku. Meski begitu, aku sudah paham, kalau semua ini akan berakhir dalam waktu satu hingga dua jam kemudian.


Alergi ... Saya sudah bersahabat dengannya sejak masih berseragam putih merah. Namun, si alergi pernah tidak muncul selama menempuh pendidikan di SMP. Mulai muncul lagi saat sudah berseragam putih abu, dan kemudian hampir tidak pernah muncul lagi saat menempuh kuliah di Semarang. Semenjak berpindah ke Magelang 9 tahun silam, gejala itu mulai muncul kembali dan semakin sering pasca melahirkan anak kedua.


Yang ingin saya ceritakan disini adalah, karena alergi yang saya alami itu, saya pernah didiagnosis Tuberkulosis (Tb) saat masih SD, atau mereka biasa menyebutnya dengan flek. Dari tanda-tanda yang saya sering alami, ditambah dengan hasil rontgen yang saat itu dikatakan ada flek, maka masuklah saya ke dalam penderita Tb anak kala itu. Dari situ, selama 1,5 tahun saya harus merasakan getirnya obat-obatan itu. Setiap hari, tanpa boleh ada jeda seharipun. Enam bulan berganti, tetapi gejala itu masih ada, maka obat pun berlanjut. Dan terus begitu hingga 1,5 tahun lamanya. Namun nyatanya, gejala itu masih menetap, seakan menjadi sahabat hidup saya hingga saat ini. Ya ...bersahabat dengan alergi.


Kesalahan diagnosis Tb pada anak memang masih menjadi masalah hingga kini. Tidak spesifiknya gejala Tb pada anak, juga sulitnya menemukan kuman penyebab Tb pada dahak anak menjadi penyebab banyaknya anak-anak yang sebenarnya tidak menderita Tb, kemudian didiagnosis Tb. Kesalahan diagnosis ini akan lebih sering terjadi pada anak-anak dengan riwayat alergi, asma ataupun picky eater (pemilih makanan). Anak yang mengalami gangguan pertumbuhan seperti berat badan yang sulit meningkat juga seringkali mudah didiagnosis Tb. Padahal bisa jadi karena anak tipe picky eater, sehingga susah makan dan berat badan susah naik. Anak-anak dengan riwayat alergi seperti saya pun rawan menerima diagnosis Tb, karena adanya gangguan nafas yang terkadang dianggap mirip dengan gejala Tb. Pun karena alerginya juga menyebabkan berat badan anak susah naik.


Perlu bagi orang tua untuk mengetahui ada atau tidaknya riwayat alergi pada keluarga. Karena jika ada riwayat alergi, maka kemungkinan adanya alergi pada anak juga jauh lebih besar. Anak kedua saya yang belum genap berusia tiga tahun juga sempat mengalami batuk lama, kesusahan bernafas di malam hari dan berat badan yang sangat susah naik. Saya mencoba memilah dokter anak yang tepat untuk memeriksakan anak saya. Hingga akhirnya datanglah saya ke seorang dokter. Dan ... salah satu obat yang diresepkan ke anak saya adalah obat alergi. Hasilnya, memang benar jika anak saya membawa bakat alergi dari saya. Karena sejak mengonsumi obat itu, batuk anak saya hilang dan mulai mau makan. Oya, anak saya juga picky eater, jadi ya ini bisa jadi salah satu penyebab susahnya berat badan anak saya untuk naik.


Jadi pembelajarannya adalah, memilah milih dokter yang dirasa tepat itu juga perlu. Mencari second opinion saya rasa juga tidak ada salahnya untuk dilakukan. Jika saja saya salah memeriksakan anak saya ke dokter yang tidak tepat, mungkin bisa jadi sekarang anak saya sudah didiagnosis Tb dan mengonsumsi obat-obatan yang getir itu setiap hari untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Sama seperti nasib saya saat kecil dulu.


Semoga bermanfaat dan bisa menjadi pembelajaran bersama.


Magelang, 6 Januari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar